Aku tahu. Tak akan ada kisah, tanpa
adanya coretan dari pembuat kisah itu. Jujur, kali ini, aku menorehkan tinta
pada hamparan kertas luas yang mungkin tak berujung. Atau, bisa saja hamparan
kertas itu terbelah begitu saja sehingga menjadi akhir dari coretanku.
Sebenarnya, ceritaku kali ini adalah cerita biasa. ini merupakan cerita lain
dari Ana dan Bagas. Entah kenapa, aku ingin cerita ini terus berlanjut tanpa
batas. Sehingga menimbulkan berbagai macam konflik tentang percintaan,
kehidupan, sahabat, dan sebagainya. Cerita ini masih berunsur percintaan.
Kisahnya bermula, ketika Ana dan Bagas, terpisah oleh jarak.
***
“Seharusnya,
kamu yang menghubungiku dulu. Kalau gini, kapan kamu berkorban? Ngerelain pulsa
aja susah banget.”
“Maaf,
Ana. ini lagi hemat. Aku kan harus berhemat. Jadi, kita smsan aja. Ok? Jangan
marah, ya?”
“Yah, terderah deh.
Ntar yang nyesel juga kamu.”
“Tuh kan, pake ngancam
segala. Ntar cepat tua lho!”
“Biarin! Sudah ah.
Pokoknya, aku enggak mau kalau aku harus telpon kamu. Ngerti?”
“Iya, iya. Tenang aja.
Semoga tidurmu nyenyak. Mimpi indah.”
“Ya!”
Tut..
tut.. tut..
Begitulah.
Keseharianku bersamanya. Hampir setiap saat, harus aku yang telpon dia. Dia gak
mau berkorban. Telpon bentar aja, enggak mau. Perasaan, setelah pacaran, dia jadi
enggak mau telpon. Yah, sudahlah. Masa bodoh. Toh, kalau ada apa-apa denganku,
dia yang menyesal.
***
Sudah hampir 6 bulan,
aku dan Bagas LDR. Rasanya, tak ada yang berubah. Sedih juga enggak. Rasa cinta
juga tak bertambah. Hambar banget. Sudah berulang kali aku memikirkan, bahwa
aku dan Bagas sepertinya harus memutuskan hubungan. Tetapi, dia menolaknya.
Entah kenapa. Wajar memang, jika seseorang tak ingin memutuskan hubungan dengan
pasangannya.
Aku mulai sadar
tentang sifat Bagas. Ternyata, dia adalah orang yang egois. Dan egoisnya lebih
parah dariku. Harusnya dia sadar itu. Tapi, aku juga gak berani beritahu dia
tentang sifatnya itu. Nanti, dia marah. Bagaimana ini? Apa dibiarkan mengalir
tenang saja? Ok. Baiklah. Biarkan seperti ini saja. pasti, nanti ada ujungnya.
***
Hari ini, harusnya
menjadi hari di mana aku dan Bagas merayakan hari Jadian kami. Tapi, dia tidak
mengirimkan pesan satu pun. Dia pasti lupa. Ah, biasa. biar dia saja yang sms
dulu. Aku tidak mau menghubunginya.
Hari ini, hanya ada
dua mata kuliah. Syukurlah. Aku bisa santai dan mencari buku di perpustakaan
untuk tugasku di beberapa mata kuliah. Segera aku menuju perpustakaan,
mengambil buku yang diperlukan, dan mengambil tempat paling jauh dari
keramaian. Biasalah, aku lebih mudah konsentrasi jika sendirian dan dalam
keadaan sepi. 45 menit pun berlalu. Aku masih bergelut dengan buku-bukuku.
Sudah 65 menit aku membaca. Sampai pada akhirnya, ada yang mengagetkanku.
“Bisa pinjam stabilo?”
“Oh, i..iya.” Aku
langsung memberikan stabilo padanya. Aku baru sadar, jika ada orang di
hadapanku.
“Terima kasih.”
“Iya. Kamu, sudah lama
duduk di sini?”
“Hmm.. Mungkin hampir
20 menit. Apa kau tak merasa ada orang di dekatmu?”
“Hehe.. iya.”
“Kamu terlalu serius
membacanya. Oh ya, kenalkan. Aku Eza. FK, semester 3.”
“Wah,, FK ya? Hmm..
Aku Ana. FKG, semester 1.”
“Junior? Rajinnya ke
perpustakaan.”
“Iya, kak. Ada yang
tidak aku mengerti.”
“Kok jadi formal
ngomongnya? Enggak perlu manggil kakak. Eza aja.”
“Kan aku bertemu
senior. Jadi harus formal.” J
“Begitu? Haha.. Tak
perlu seperti itu. Biasa saja. Anggap saja aku temanmu. Apa yang tidak bisa?
Mau aku ajari?”
“Wah, boleh nih.”
Akhirnya tugasku
selesai dengan bantuan Eza. Tak kusangka, sudah orangnya pintar, baik, rajin
pula. Aku dan Eza juga tukar nomor handphone. Entah untuk apa. Mungkin, aku
butuh dia kalau ada tugasku yang tidak bisa. :P
***
Malam ini, aku sedang
smsan dengan Bagas. Dia sedang sakit. Karena itu, aku mencoba menghiburnya.
‘Sudah
minum obat kan? Ntar kalo gak minum obat, zombie bakal datang ke kosmu.’
‘Haha..
gak akan mungkin. Aku gak takut sama zombie.
Yang ada zombienya lari gara-gara lihat aku, soalnya aku terlalu
ganteng.’
‘PeDe
banget sih! Istirahat yang banyak, makan yang teratur. Biar sehat lagi.’
‘Ok.
Demi kamu, aku akan minum obat, istirahat cukup, dan makan teratur. Gimana?’
‘Cuman
gara-gara aku? Jangan dong. Demi hidupmu aja. Berarti, kalau gak ada aku, kamu
gak mau melakukan semua itu?’
‘Hehe..
bercanda. Ya tetap aku lakukanlah. Kamunya sudah makan atau belum?’
‘Belum.’
‘Kok
belum? Cepat makan! Ntar sakit seperti aku, gimana?’
‘Iih..
gak mau aku. Aku belum makan, karena ini belum waktunya makan malam.’
‘Oh,
gitu?’
‘Eh,
sudah dulu, ya! Aku mau makan. Sudah dipanggil mamaku.’
‘Ok.’
Akhirnya, aku selesai
makan malam bersama keluargaku. Papaku menanyakan sesuatu yang membuatku
sedikit membutuhkan pemikiran yang berat.
“Ana, kamu sudah punya
pacar?”
“Hmm.. belum kok pa.
Memangnya kenapa?”
“Gak ada apa-apa.
Cuman tanya.”
Memang, orang tuaku
tidak tahu, kalau aku sudah berpacaran dengan Bagas. Aku berusaha menyimpan
rajasia ini dengan erat. Kenapa? Aku takut orang tuaku tidak setuju. Biasa,
orang tuaku kemauannya banyak. Dan tidak semuanya terdapat dalam diri Bagas.
“Ana! Handphonemu
bunyi! Ada telpon, ya?”
“Telpon? Iya ma.”
Segera aku berlari ke
kamarku. Mungkin, Bagas menelponku. J
Aku tak sempat melihat
namanya. Langsung saja aku angkat telponnya.
“Halo, Bagas?”
“Bagas? Kamu tidak
men-save nomorku? Aku Eza.”
“Oh, maaf. Aku kira
Bagas. Karena tadi, dia berjanji akan menelponku.”
“Siapa Bagas?”
“Oh, dia pacarku. Eh,
iya. Ada apa nih?”
“Sebenarnya, mau
ngajak kamu pergi. Ada perayaan barbeque di dekat rumahku. Tapi, nanti aku
dimarahi pacarmu.”
“Enggak kok. Dia gak
akan marah. Orangnya baik.”
“Kalau gitu, kamu
siap-siap. Lalu, alamatmu smsin ke aku. Ok?”
“Ok.”
Aku segera bersiap,
dan mengirim pesan berisi alamatku ke Eza. Entah kenapa. Rasanya, aku senang
sekali mau pergi dengan Eza. Tidak seperti ketika mau bertemu Bagas.
10 menit kemudian, ada
orang membunyikan bel rumah. Dan, mamaku membuka pintu.
“Permisi, Tante. Apa
benar ini rumah Ana?”
“Iya. Mas siapa ya?
Ada perlu apa?”
“Saya teman Ana, Eza.
Saya ingin mengajak Ana pergi ke perayaan barbeque. Bolehkah Tante?”
“Boleh. Tapi, sebelum
jam 9, Ana harus sudah ada di rumah. Mengerti kan?”
“Baik, Tante. Eh,
selamat malam, Om.”
“Oh, iya. Malam.”
“Dia teman Ana, pa.
Sudah, biarkan saja.”
“Hmm.. Jaga Ana.
Jangan sampai Ana terluka.”
“Baik, Om.”
“Ana, ada temanmu,
Eza.”
“Iya, ma.”
Segera aku bergegas
keluar, dan berpamitan pada orang tuaku.
Ternyata, Eza
sepertinya serius mengajak aku pergi. Ke rumahku aja bawa mobil. Terserah deh.
Kami pun berbicara
panjang lebar tentang banyak hal. Dan kami sampai di sebuah rumah mewah. Excited sekali. Kami segera disambut
dengan hangat oleh pemilik rumah, yang ternyata adalah teman Eza. Banyak sekali
yang datang. Seperti pesta ulang tahun besar-besaran. Kami berbaur dengan
banyak orang, bersenang-senang, dan tertawa ria. Jam menunjukkan 20.45, dan
kami berpamitan pada mereka untuk pulang. Pengalaman yang menyenangkan. Kalau
tak ada Eza, tak mungkin aku dapat merasakan seperti ini.
Sesampainya di
rumahku, aku mengucapkan terima kasih padanya. Dan ia segera pulang.
Sepertinya, kali ini, aku akan mimpi indah. Pengalaman yang tiada duanya.
***
Sudah 2 minggu ini,
aku dekat dengan Eza. Tak hanya di tempat kuliah, kami juga sering telpon dan
smsan. Dan aku juga masih smsan dengan Bagas. Sepertinya, rasaku ke Bagas mulai
berkurang.
Lamunanku tiba-tiba berhenti,
ketika ada sms dari Bagas.
‘Aku
akan pulang malam minggu nanti. Ayo, jalan.’
‘Sayang
banget. Aku sudah ada janji dengan temanku. Kita mau ngerjakan tugas bersama.’
‘Oh,
benarkah? Apa tidak bisa ditunda lain waktu? Aku kangen sama kamu.’
‘Maaf
ya, gak bisa. Aku udah janjian sejak 2 hari yang lalu. Jadi gak mungkin aku
batalkan.’
‘Ok
lah. Tidak masalah.’
Maaf, Bagas. Aku
berbohong. Aku tak bisa bilang, kalau sebenarnya aku akan makan malam dan
jalan-jalan with Eza. Sepertinya, kamu kecewa. Maafkan aku.
***
Malam minggu pun tiba.
Dan aku sudah bersama dengan Eza di sebuah restoran. Cukup mewah. Dan suasanya
romantis. Kami pun segera memesan makanan dan berbicara panjang lebar.
“Haha.. kamu lucu
sekali. Oh iya. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu.”
“Katakan saja. Apa sih
yang akan Tuan Eza katakan? Sepertinya serius sekali.”
“Ya, jadi, begini.
Sebenarnya, aku…”
“Ya?”
“Aku menyukaimu.
Maukah kau menjadi pacarku?”
“Eza? Aku sudah punya
pacar. Tidak mungkin aku menjadi pacar dua orang sekaligus.”
“Tapi, kau tidak
begitu mencintai pacarmu itu. Berpisahlah dengannya, dan jatuhlah kepadaku. Aku
tahu, sebenarnya kamu tidak mencintai pacarmu itu. Apalagi, sejak hadirnya aku
di kehidupanmu, sepertinya kau sangat senang.”
“Tapi, Eza, ini tidak
bisa. Aku…”
“Kenapa? Takut untuk
memutuskan hubungan dengannya? Atau, kamu tidak bisa bilang bahwa sebenarnya
kamu tidak bahagia bersamanya? Perlukah aku yang mengatakannya?”
“Eza, bukan seperti
itu. Masalahnya…”
Aku berusaha untuk
membuat Eza agar menarik kembali kata-katanya. Tapi, dia terus mengejarku
dengan kata-katanya yang membuatku terus menelan kata-katanya ke dalam hati dan
pikiranku.
Tanpa ku sadari, Bagas
ternyata ada di restoran ini bersama dengan teman-temannya. Salah satu temannya
melihatku, dan memberitahukan pada Bagas. Bagas pun menghampiriku.
“Ana? Katanya, kamu
sedang mengerjakan tugas bersama temanmu? Jadi, ini yang namanya mengerjakan
tugas?”
“Ah,.. Bagas? Se..
sedang apa kau di.. sini?” kataku dengan terbata-bata.
“Tak penting kenapa
aku disini. Siapa dia?”
Bagas menunjuk Eza.
Aku diam seribu bahasa. Aku tak tahu harus mengatakan apa. Tiba-tiba, Eza
berdiri, dan menjawab semua pertanyaan Bagas.
“Kau yang bernama
Bagas? Kenalkan. Aku Eza. Teman Ana. Dan sebentar lagi akan berubah status
menjadi kekasih Ana.”
“Apa? Kekasih Ana? Apa
kau tak tahu kalau aku pacarnya?”
“Ya. Aku tahu. Justru
karena aku tahu, aku berusaha menjadi kekasih Ana. Apa kau tak tahu, bahwa Ana
tidak bahagia bersamamu?”
“Apa maksudmu?”
“Ana tak pernah
mencintaimu. Cintamu bertepuk sebelah tangan. Ana sudah berusaha untuk
mencintaimu, tapi, dia tak bisa. Kau terlalu memaksa Ana untuk menerimamu di
kehidupannya. Selama ini, dia berusaha bertahan. Bertahan bersamamu, bertahan
disisimu, dan tanpa kau ketahui, dengan adanya kau yang terlalu berhemat, dia
semakin tidak menyukaimu. Karena itu, jika ada seseorang yang mengisi
kehidupannya, jangan salahkan Ana jika ia mencintai orang itu. Karena apa?
Karena kau yang terlalu men-judge bahwa Ana milikmu. Sedangkan Ana tidak
menginginkan itu. Aku tahu semua ini, karena Ana bercerita padaku. Jangan
salahkan Ana. Ok? Dia bercerita padaku dengan bahasa yang halus. Dan aku
menyimpulkannya seperti ini. Puas dengan jawabanku untuk pertanyaanmu?”
“Tidak mungkin! Ana!
Katakan yang sebenarnya!”
Aku tetap diam seribu
bahasa. Aku bingung harus menjawab apa. Aku ingin meng’iya’kan kata-kata Eza.
Tapi, mulutku tak mau membuka. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Apa yang
harus aku lakukan?
“Ana!! Kenapa kamu
diam saja?! Berarti, semua yang dikatakannya benar? Jawab Ana!!”
Aku tetap bergeming.
“Ana.”
Panggilan Eza
membuyarkan pikiran kosongku. Aku pun menatap Eza.
“Katakan saja. Tak
apa. Aku ada di sini. Kau tak perlu khawatir.”
Eza menenangkan
pikiranku. Dan aku menatap Bagas dengan sungguh-sungguh.
“Bagas, semua yang
dikatakan Eza itu benar. Kau bahkan melupakan hari jadian kita. Jujur, aku..
aku sudah muak menjalani semua ini. Kamu tak pernah memikirkan perasaanku! Aku
lelah, jika harus aku yang selalu berkorban untukmu! Harusnya kau sadar!
Bagaimana perasaanku setiap aku yang harus menguhubungimu. Sudahlah. Aku ingin
kita mengakhiri hubungan ini. Sudah cukup. Aku tidak mau menangis untukmu. Aku
tidak mau lagi berkorban untukmu. Relakan aku bersama Eza. Aku mencintai Eza.
Aku benar-benar menyukainya. Tak seperti aku menyukaimu. Ini jawabanku. Kamu
ngerti kan?”
Kali ini, Bagas
terdiam. Sepertinya dia merasakan shock terapi.
Mungkin, dalam pikirannya bercampur aduk mengingat masa-masa pacaran kita
selama setengah tahun ini.
“Jika memang itu yang
kamu inginkan, Ok. Kita putus, Ana. Tapi ingat. Jangan pernah hubungi aku lagi.
jangan pernah mangajakku untuk bertemu lagi. jangan pernah sms aku lagi.
ngerti?”
“Ya. Aku akan
mengingat itu semua.”
Bagas pun pergi,
meninggalkan restoran, dan disusul oleh teman-temannya. Aku duduk lemas.
Rasanya, aku seperti mengeluarkan beban pikiran yang selama ini aku simpan.
Lega sekali. Dan aku menangis.
“Lho? Ana? Jangan
menangis. Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa.
Aku hanya lega saja. sudah bisa mengatakan semua itu. Makasih ya, Eza. Kamu
benar-benar membantuku.”
“Bagaimana? Kamu mau
kan jadi pacarku?”
“Iya.”
***
Kami pun menjalani
hari-hari kami dengan menyenangkan. Dan tak ada kabar sama sekali dari Bagas.
Sejujurnya, aku ingin tahu bagaimana keadaan Bagas saat ini. Tapi, dia menyuruhku
untuk tidak menghubunginya. Ya, tak apa. Toh, Eza ada disampingku. Dan kali
ini, orang tuaku tahu kalau aku berpacaran dengan Eza. Dan mereka setuju. :D
***
“Masih mencintaiku
kan?”
“Ya tentu saja. Kenapa
kau bertanya seperti itu?”
“Aku takut saja.
Jangan-jangan, rasamu kepadaku seperti rasamu ke Bagas waktu itu.”
“Haha.. tak akan.
Sudahlah. Kita jalani saja hubungan kita. Tidak akan ada yang mengganggu.”
“Ya, ya. Baiklah. Buatkan
puisi untukku. Kamu kan orangnya pintar buat puisi.”
“Hmm.. puisi ya.
Baiklah. Tunggu minggu depan. Pasti sudah jadi puisinya.”
“Lamanya.. kamu ini..”
***
Akhir kisah kami pun
bahagia. Aku dan Eza menjalani hari-hari yang selalu berbeda. Entah bagaimana
akhirnya nanti, yang jelas, saat ini, kami masih pacaran, dan akan terus
seperti ini sampai suatu saat nanti. Entah kapan…