Aku
berada di Geff Symphony. Sebuah bangunan luas dan memiliki nama yang terbaik
dalam menghasilkan pemusik-pemusik handal. Sekarang, aku berada pada sebuah
ruang yang cukup besar. Ruang bercat creamy
peach dengan sebuah lampu besar dan mahal di langit-langit. Lukisan awan
yang sangat indah menghiasi atap ruang ini. Banyak sekali kursi berserakan dan
di bentuk melingkar. Sebuah piano classic berwarna putih di sudut ruangan itu,
membuat ruangan ini semakin terasa hidup. Tak kusangka, aku dapat memasuki
ruang yang dulu hanya bisa aku impikan. Aku mendekati piano itu. Aku menekan
beberapa tuts, dan memainkannya sesuka hatiku. Tiba-tiba, ada yang membuka
pintu kayu jati itu. Aku terkejut. Dan dia berkata padaku.
“Seharusnya,
kau mainkan crescendo pada part itu. Pasti
terdengar lebih baik.”
(crescendo: makin lama makin keras)
“Ah,
maaf. Aku tidak bermaksud memainkan piano ini. Maafkan aku.”
Segera aku berdiri,
dan menyingkir.
“Tak apa. Mainkan lagi.
dan lakukan crescendo pada part tadi.”
“Oh, baiklah.”
Aku memainkan kembali
lagu itu dengan arahannya. Ternyata, terdengar lebih indah. Aku semakin
menyukai lagu itu.
“Bagaimana? Lebih baik
bukan?”
“Iya. Terima kasih.
Kau siapa?”
“Kau, tidak
mengenalku? Ok. Baiklah. Aku yang mengelola gedung, dan pemilik piano classic
itu. Perkenalkan, namaku Giovany Deschag. Panggil saja Gio. Siapa kau? Aku baru
melihatmu pertama kali di sini.”
“Aku Lyra. Lyra Evarences.
Tadi, orang yang didepan, menyuruhku untuk masuk ke ruang ini. Katanya, aku
akan berlatih disini, dan akan ada orang yang masuk untuk membimbingku.”
“Oh, kau yang
mengikuti program Gold Individual Person?”
“Iya.”
“Kenapa kau mengikuti
program ini? Ini program yang sangat mahal. Dan kau tidak akan memiliki teman
karena kau hanya akan latihan berdua saja dengan pelatihmu. Jamnya pun berbeda
dengan anggota yang lain.”
“Aku memang
menginginkannya. Aku ingin menekuni bidangku ini tanpa ada yang tahu.”
“Mengapa begitu? Bukankah
lebih menyenangkan jika bermain bersama beberapa orang?”
“Aku sering dicemooh
dan dikucilkan oleh teman-temanku. Mereka berkata, aku lebih pantas bermain
sendiri. Karena aku bermain tergantung pada suasana hatiku. Karena itu, aku
ingin menjadi sosok pianis yang hebat. Pianis yang dapat membuat orang-orang
ikut hanyut dalam lagu yang aku bawakan.”
“Benarkah kau ingin
seperti itu? Dan kau ingin membuktikan pada teman-temanmu?”
“Ya. Umm.. dari tadi,
aku tidak melihat ada orang yang masuk ke sini. Apakah pelatih itu tidak mau
melatihku?”
“Haha.. Apa kau tidak
menyadari bahwa pelatihmu sudah memasuki ruangan ini, dan berdiri di hadapanmu
sejak tadi?”
“Ah! Maafkan aku. Aku tidak
menyadarinya. Karena tuan terlalu..”
“Muda? Haha… Aku telah
melihat profil dirimu. Dan umur kita hanya terpaut 2 tahun. Karena itu, tak
perlu memanggilku tuan. Panggil saja Gio. Memang, banyak yang terkejut karena
pelatih mereka yang belajar disini masih tergolong muda. Mungkin, karena bakat
dari alam, sehingga aku bisa menjadi pelatih music dan mengelola gedung ini.
Mau dimulai sekarang latihannya? Kau hanya memiliki waktu 2 jam setiap harinya.
Jangan sia-siakan waktumu!”
“Oh, baiklah. Kita mulai
sekarang.”
Ini, adalah awal
pertemuanku dengan pelatih pianoku. Umur yang tidak terpaut jauh, membuat aku
dan Gio seperti layaknya teman biasa. saling bersenda gurau, dan saling berbagi
cerita. Gio selalu membuat hari-hariku penuh warna.
***
3 bulan telah berlalu.
Dan aku masih rajin latihan. Akhir-akhir ini, aku berlatih sendiri. Mungkin,
gio sedang lelah, atau sibuk mengelola gedung ini. Tapi, tak apa. Dia selalu
meninggalkan catatan kecil di atas pianonya, agar aku bisa memperbaiki
kesalahan-kesalahanku pada lagu yang aku mainkan, dan terkadang menyuruhku
untuk berlatih lagu baru yang dituliskan pada catatan kecil itu. Tiba-tiba, Gio
masuk dengan raut wajah yang lelah dan kusut.
“Apa yang terjadi
padamu? Raut mukamu membuatku takut.”
“Maaf, Lyra. Sepertinya,
kau harus berlatih dengan pelatih dan piano lain mulai lusa.”
“Memangnya, ada
masalah apa?”
“Orang tuaku bankrupt.
Kami harus mengganti kerugian pada beberapa perusahaan. Dan CEO gedung ini,
tidak ingin memiliki pelatih yang berstatus sepertiku. Piano ini akan dijual,
untuk menutup kerugian itu.”
“Aku turut sedih.
Lalu, kau akan tinggal di mana?”
“Aku akan tinggal
bersama salah satu keluarga ayahku di luar kota. Mungkin, hidup kami bisa lebih
baik di sana. Jika keluargaku sudah bangkit kembali, aku akan menemuimu.”
“Oh, begitukah? Tidakkah
ini terlalu menyakitkan? Aku tak memiliki teman selain dirimu. Dan sekarang kau
akan meninggalkanku?”
“Maaf, Lyra. Tapi, ini
memang takdir. Bersikap baiklah pada pelatih barumu. Karena ia sudah senior,
pengalamannya jauh lebih baik. Jangan suka membantah jika sedang bersamanya. Sampaikan
dengan baik jika kau ingin berpendapat tentang musikmu nanti. Senior itu sangat
mengerti akan dunia music. Jadi ambillah kesimpulan setiap dia bercerita
tentang pengalamannya. Kau mengerti bukan?”
“Uh.. baiklah. Aku coba
untuk mengingat semua kata-katamu.”
“Hari ini, aku ingin
bermain piano berdua denganmu di pianoku untuk terakhir kali. Bersediakah kau
melakukannya?”
“Tentu saja.”
Kami pun membawakan
lagu sesuai dengan suasana hati kami saat ini. Aku benar-benar hanyut dalam
permainan tangan kami. Aku seperti ikut merasakan kegelisahan dan kesedihan
yang dirasakan Gio.
***
Telah lewat satu
minggu dari tidak hadirnya dan menghilangnya Gio dari kehidupanku. Aku benar-benar
tidak menyukai pelatih baruku. Terlalu bawel. Banyak protes keras. Selalu menghardikku
jika aku salah sedikit saja. dia tidak pernah membenarkan permainanku yang
salah. Aku disuruhnya untuk mencari kesalahan pada permainanku sendiri. Aku tahu,
metode itu adalah metode paling tepat untuk melatih otak dan pendengaranku. Tapi,
aku tidak bisa melakukannya. Karena setiap bertemu pelatih baruku ini, moodku
hilang begitu saja. Entah kenapa.
“Lakukan staccato pada part 3!”
(staccato: memainkan nada dengan
terputus-putus)
“Setelah itu harusnya Fermata! Apa kau tak membacanya?”
(fermata: berhenti dengan waktu yang
tidak terikat oleh ketukan)
“Sudah! Sekarang, buka
part 36. Mainkan!”
Aku pun memainkannya. Belum
ada setengah dari bagian itu, dia sudah menghardikku lagi.
“Seharusnya kau
lakukan tremolo! Apa kau tidak
mengerti?!”
(tremolo: memainkan notasi berulang-ulang
dalam tempo cepat)
“Berikan penambahan mezzo forte! Lalu lakukan Riverso!)
(mezzo forte: agak keras)
(riverso: cara bermain terbalik dari
belakang ke depan)
Ya. Seperti itulah dia
selalu memarahiku. Aku selalu berusaha melakukannya dengan benar. Tapi selalu
salah di pendengarannya. Dia selalu ingin semua yang aku mainkan perfect. Tapi aku jarang bisa melakukan
itu. Aku harus bisa bertahan. Agar aku bisa membuktikan pada Gio bahwa aku
telah mengingat semua kata-katanya dengan cara aku bermain dengan baik tanpa
cacat.
***
Hari ini, pelatih
meliburkanku karena dia ada urusan bersama panitia orchestra. Mungkin akan ada concert
dari beberapa symphony terkenal. Yah, mungkin aku akan melihatnya. Aku sekarang
memasuki sebuah toko yang menjual berbagai alat music. Setelah melihat-lihat,
aku terpaku pada salah satu piano classic bercat putih. Mirip sekali dengan
milik Gio. Aku mendekatinya, dan benar. Terukir nama Gio di piano itu. Pelayan toko
mengatakan bahwa piano ini merupakan milik seseorang dan di jual di toko ini
karena orang itu bankrupt. Aku menanyakan harga piano itu. Dan setelah terjadi
tawar menawar dengan pelayan dan si empunya toko, aku berhasil membeli piano
itu. Kini, aku bisa bermain dengan piano Gio setiap hari.
***
Seorang pria memasuki
toko music itu. Ia menanyakan sebuah piano classic berwarna putih yang
dijualnya 2 bulan lalu. Pelayan toko itu memberitahu, bahwa piano itu sudah
terjual. Pria itu meminta nama dan alamat pembeli tersebut. Sayang, pelayan itu
menghilangkan kartu nama pembeli itu. Ia hanya mengingat nama pembeli itu. Namanya
adalah Eva. Pria itu mulai mencari seorang pianis bernama Eva yang telah membeli
pianonya.
Sudah berhari-hari ia
mencarinya. Tapi, tak dapat menemukannya. Suatu hari, ia mendapatkan selebaran
pertunjukkan pianis-pianis baru yang lahir dari Geff symphony. Ketika ia
membaca anggota pianis baru, ia menemukan nama Eva. Nama lengkapnya, Eva-rences
Lyra. Ia tidak menyangka. Bahwa orang bernama Eva yang dia cari-cari selama ini
adalah Lyra. Ia segera membeli tiket untuk melihat pertunjukkan itu. Ia harus
melihat perkembangan Lyra.
***
Minggu ini benar-benar
melelahkan. Karena aku harus tampil dalam sebuah pertunjukkan untuk
solois-solois baru. Tapi, ini sesuatu yang baru dan menyenangkan. Aku akan
tampil di depan ribuan orang. semoga Gio melihat penampilanku.
Hari yang aku
tunggu-tunggu tiba. Aku menggunakan piano Gio. Agar dia tahu bahwa aku akan
membawakan lagu dengan pianonya, dan berhasil sebagai pianis terbaik, tanpa
cacat. Aku segera menyewa mobil untuk membawa piano itu menuju gedung Geff
Symphony.
Persiapan sudah usai. Dan
saat ini, aku sedang menunggu giliranku untuk tampil. Rasanya, aku seperti ikut
audisi untuk pemilihan ratu sejagad.
Namaku telah
dipanggil. Aku pun keluar dengan penuh percaya diri, dan memberi hormat pada
penonton. Dan tak kusangka, Gio berada pada deretan ketiga paling depan. Dia melambaikan
tangan dan mengacungkan jempolnya padaku. Aku benar-benar bahagia. Dia bisa
melihatku berada di panggung ini.
Aku pun memainkan ‘Piano
Sonata in C Major’ dan ‘Waltz in G-Flat Major’ dengan baik dan tanpa kesalahan.
Penonton memberikan standing applause
setelah permainanku usai. Gio pun memberikan kode padaku agar aku keluar dari
ruangan untuk menemuinya.
“Gio!!”
“Lyra!”
Kami pun berpelukan
melepas rindu. Lama sekali rasanya tidak bertemu.
“Kau memainkannya
dengan indah. Aku menyukainya.”
“Ini semua berkat do’a
dan pianomu.”
“Kau juga harus
berterima kasih pada pelatihmu itu.”
“Ya, aku sudah
melakukannya. Maafkan aku, aku membeli pianomu tanpa seizinmu. Oh ya, kau sudah
bangkit dari keterpurukan?”
“Haha… keterpurukan? Tidak
separah itu, Lyra. Keluargaku sudah dapat bangkit, dan kami membuat usaha
kecil-kecilan. Seminggu yang lalu, aku berniat membeli pianoku kembali. Tapi,
piano itu sudah tak ada. Pelayan toko ituu mengatakan bahwa pianis wanita
bernama Eva yang membelinya. Aku mencari berhari-hari. Sampai akhirnya aku
melihat selebaran, dan aku baru menyadari bahwa Eva itu adalah dirimu. Sejak kapan
kau mengganti namamu?”
“Aku tidak mengganti
namaku. Hanya saja, kata pelatih, nama Eva akan lebih baik. Karena itu aku
menuliskan nama pada selebaran seperti itu. Pelatih yang menyuruhku. Aku sekarang
jadi perbincangan orang-orang. kata mereka, aku pianis yang hebat. Haha..
apalagi, aku terkesan elegant saat tampil bersama dengan pianomu.”
“Baiklah, Eva. Maukah
kau mengembalikan pianoku? Aku bisa membelikan piano baru untukmu yang persis
seperti milikku.”
“Mengembalikan
pianomu? Tidak mau. Aku sudah membelinya. Aku juga tidak mau kau mengeluarkan
uang untukku hanya demi sebuah piano.”
“Tapi, aku ingin
bersama dengan pianoku lagi. ayolah, aku mohon..”
“Tidak mau. Aku ingin
piano ini menjadi milik kita berdua selamanya.”
“Maksudmu?”
“Kau mau kan selalu
ada disisiku, menemaniku dan berbagi suka duka bersama?”
“Kau serius?”
“Tentu saja.”
“Dengan senang hati. Aku
akan menjadi satu-satunya orang yang akan menjadi pasangan hidupmu.”
Kami pun berpelukan
kembali. Kali ini, seakan-akan tak ada siapa pun di sekitar kami. Serasa tempat
ini hanya milik kami berdua. Tiba-tiba, Gio melepaskan pelukannya.
“Lyra..”
“Ya?”
“Jangan bergerak.”
“Ada apa? Kenapa aku..”
“Ssst.. jangan bicara.
Diamlah. Ikuti saja apa yang akan aku lakukan.”
Aku pun memejamkan
mata. Hembusan napasnya serasa begitu dekat. Wajahnya bersentuhan dengan
wajahku. Dan aku pun terhanyut dalam sentuhan yang begitu dalam. Tak peduli
bagaimana orang-orang di sekitar melihat kami. Kami tak bisa berhenti. Dan malam
ini, adalah malam terindah bagiku dan Gio...