Ceritaku kali ini, adalah sebuah cerita
yang lain dari cerita Ana dan Bagas sebelumnya. Dan ceritaku ini, adalah sebuah
mimpi milikku, lalu aku beri sedikit bumbu-bumbu imajinasi. . .
***
Terngiang selalu di
telingaku, selalu terpikirkan di otakku, sebuah nama, nama yang tak akan
terlupa. Nama yang selalu membuatku tersenyum. Nama yang membuatku ingin selalu
bertemu dan meletakkan hatiku kepadamu, Bagas…
Saat
ini, aku sedang sendiri, merenungkan sesuatu yang tak pasti. Dan tepat saat ini
pula, sebuah lagu mengalun di telingaku. Lagu yang membuatku selalu teringat
padanya.
Jika
teringat tentang dikau, jauh di mata dekat di hati. Sempat terpikir tuk
kembali, walau beda akan kujalani. Tak ada niat untuk selamanya pergi. Jika
teringat tentang dikau, jauh di mata dekat di hati. Apakah sama yang kurasa,
ingin jumpa walau ada segan. Tak ada niat untuk berpisah denganmu…
***
Untuk
yang kesekian kalinya, jam kosong menghampiri kelasku. Sudah beberapa hari ini,
selalu seperti ini. Dan saat ini, aku sedang memegang handphoneku, menunggu
seseorang mengirimiku pesan. Ya, aku menunggu pesan dari Bagas. Tapi, dia tak
kunjung mengirimiku pesan. Benar-benar menyebalkan. Dia pasti sudah
melupakanku. Dan sepertinya, memang begitu. Dia pernah bercerita padaku bahwa
ada orang yang menyukainya. Ya, aku tak ingin mencampuri urusan pribadinya.
Biarlah. Toh, jelasnya, aku bukan siapa-siapa lagi baginya. Sudahlah, lupakan.
***
Pulang sekolah hari ini,
hawanya tidak mengenakkan. Hawanya panas, tapi cuacanya mendung. Semoga saja
hujan. Amien…
Tidak
seperti biasanya, kali ini, aku melewati jalur pantura. Aku tidak ingin
melewati jalan biasanya. Terlalu ramai, dan bisa-bisa macet. Saat melewati
laut, rasanya menyenangkan. Hawa dingin menjalar di setiap pori-pori tubuhku.
Traffic light menunjukkan lampu hijau.
Aku menghentikan kebiasaanku menikmati udara laut, dan segera melaju dengan
kecepatan 40km/jam. Saat di pertigaan, aku langsung berbelok. Tiba-tiba ada
sebuah motor sport melaju dengan cepat, dan kami bertabrakan. Aku terjatuh dari
motorku sekitar 3 meter. Bukuku tercecer di jalan. Orang-orang segera
menolongku dan menolong orang yang menabrakku. Mereka mengkhawatirkanku,
melihat luka di kepalaku, dan banyak goresan di tangan dan kakiku. Aku hanya
bisa merintih, sakit. Sekilas, aku melihat orang yang menabrakku. Sepertinya
dia tak apa. Dia masih bisa berjalan normal, sementara aku, untuk berdiri saja
tak bisa. Dia menghampiriku. Penglihatanku sedikit kabur, sehingga tak dapat
melihat jelas wajahnya. Orang-orang mulai menyalahkan dan memakinya. Dia
berkata pada orang-orang bahwa akan memperbaiki motorku dan membawaku ke rumah
sakit.
‘Tinggal
sedikit lagi sampai rumah saja, harus kecelakaan. Sekarang aku harus gimana? Dasar!
Kalau mau lewat, lihat kanan kiri dulu donk! Seenaknya saja kalau lewat! Awas
saja kalau sampai gak tanggung jawab. Bakal aku laporkan ke kantor polisi. Baru
tau rasa!’ umpatku dalam hati.
Dia mendekatiku dan melihat keadaanku. Aku
tak menatapnya, aku masih membingungkan motorku, dan luka di tubuhku. Kepalaku
rasanya pening. Tiba-tiba, dia berbicara padaku.
“Fit…”
Fit? Dia memanggilku, fit? Bukannya yang
memanggilku seperti itu hanya Bagas?
“Kamu
Rana Fitri bukan?” ucapnya.
Aku
mendongakkan kepalaku. Dan…
“Bagas?!”
kataku dengan terkejut.
“Kamu
tak apa? Maafkan aku. Aku benar-benar tak tau. Aku…”
“Sudahlah,
tak apa. Tapi, aku sekarang tak bisa berdiri. Maukah kau mengantarku pulang?
Aku tidak sanggup kalau harus pulang sendiri.”
“Kalian
berdua sudah saling mengenal?” tanya seseorang yang menolongku.
“Ya,
Dia mantan pacar saya, pak. Jadi, biar saya saja yang menolong.”
“Oh,
ya sudah mas. Kita bantu cari becak ya? Motornya di titipkan sini saja. Biar
diperbaiki di sini sekalian. Gimana mas?”
“Iya
pak. Nanti sore motornya saya ambil.”
“Iya
mas. Kasihan mbaknya. Ternyata yang nabrak mantannya sendiri. Sabar ya mbak,
ini ujian.” Kata orang itu sambil senyum-senyum.
Aku
tak peduli apa kata orang dan kata Bagas. Aku sekarang sedang mencari jawaban
di pikiranku untuk di utarakan ke kedua orang tuaku. Pasti mereka khawatir.
“Ayo,
kita ke rumah sakit dulu, fit. Kepalamu berdarah. Aku takut lukamu itu luka
dalam. Sini, aku bantu berdiri.”
“Oh,
ya. Makasih.” Jawabku kaku.
Selama
di perjalanan menuju rumah sakit, aku tak tau harus bicara apa. Sepertinya, dia
juga begitu. Pertemuan pertama yang tak menyenangkan. Kalau pertemuan pertama
saja seperti ini, bagaimana untuk pertemuan-pertemuan berikutnya?
Keheningan melanda kami. Tak satu pun
dari kami angkat bicara.
Setelah sampai rumah sakit, dia segera
mengurus semuanya. Mulai dari administrasi, sampai pengobatan. Akhirnya,
setelah sekian lama, dia angkat bicara.
“Kamu
harus menginap malam ini. Dokter tidak mengijinkanmu pulang. Mereka takut terjadi
apa-apa dengan kepalamu jika kamu pulang. Besok siang, mungkin baru boleh
pulang. Aku akan menghubungi orang tuamu. Bisa aku minta nomor handphonenya?”
Aku
segera memberitahukan padanya. Dan dia segera menghubungi orang tuaku. Beberapa
saat kemudian, orang tuaku datang. Dengan wajah cemas. Orang tuaku menghiburku.
Lalu, ayahku menemui Bagas. Mungkin, ingin bertanya apa yang terjadi padaku.
Sedangkan Ibuku menemaniku. Aku mendengar sedikit-sedikit percakapan ayahku dan
Bagas. Tak ada nada marah terdengar di ucapan ayahku. Syukurlah.
2 jam berlalu. Orang tuaku pulang. Lebih
tepatnya, aku yang mengatakan kepada mereka bahwa mereka harus istirahat karena
besok kerja. Toh, aku sudah tak apa. Hanya pusing saja. Akhirnya mereka pulang,
dengan sedikit rasa lega.
Bagas masuk ke kamar. Dia tersenyum
padaku.
“Kenapa
senyum-senyum?” tanyaku.
“Tak
apa. Lucu saja. Kita pertama kali bertemu di saat seperti ini. Di saat aku
menabrakmu, lebih tepatnya. Dan kamu adalah mantanku saat ini. Sulit
dijelaskan. Tapi, kamu mengerti maksudku kan?”
“Ya.
Aku mengerti. Ini adalah takdir. Benar bukan?”
“Ya,
kau benar.”
Dia
mulai mengingatkanku tentang aku dan dia saat pertama kali, sampai saat ini.
Sore akhirnya berganti malam. Dan dia masih setia menungguku.
“Pulanglah.
Keluargamu pasti khawatir.”
“Khawatir?
Aku ini laki-laki. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Justru, aku takut.
Jangan-jangan, kamu tidak betah di rumah sakit dan melarikan diri.”
“Dasar,
kau ini! Tak mungkin lah, aku melarikan diri. Jalan saya belum tentu bisa. Oh
ya, sebenarnya, tadi siang kamu mau ke mana?”
“Oh,
tidak penting. Sahabatku butuh teman cerita. Dia menyuruhku datang ke
rumahnya.”
“Sahabatmu?
Orang yang suka denganmu itu?”
“Ya.
Kenapa? Kamu cemburu?” tanyanya menggodaku.
“Sepertinya
begitu. Hahaha…” Jawabku sambil tertawa.
“Hei,
pulanglah. Ini sudah jam 8 malam. Aku tidak mau kau menunggu seseorang sepertiku
yang notabenenya tidak kau kenal. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Lagipula,
disini banyak dokter dan perawat.” Kataku.
“Benar?
Kamu yakin? Tak apa kalau aku pulang?”
“Ya.
Pulanglah.”
“Kalau
begitu, aku pulang dulu.”
Dia
pun berlalu, dan melempar senyum kepadaku sebelum menutup pintu.
***
Jujur, hari ini adalah
hari yang aku sesali jika aku tak bisa masuk sekolah. Kenapa? Karena, hari ini
jadwalnya Fisika, Matematika. Haduh, rasanya pusing 7 keliling. Bagaimana ini?
Seseorang membuka pintu. Oh, dokter,
suster dan orang tuaku. Aku berharap kalau yang membuka pintu Bagas.
Sepertinya, tidak mungkin ya?
Orang
tuaku menengokku sebelum mereka berangkat kerja. Setelah kedua orang tuaku
pergi, Bagas menemuiku.
“Hai,
pagi.” Sapanya.
“Pagi
juga. Aku kira, kamu tidak akan datang. Tentu saja aku datang. Dan aku baru
saja mengembalikan motormu ke rumah. Oh ya, aku mau bicara sesuatu. Kamu mau dengar?”
“Ya,
tentu saja.”
Dia
pun menceritakan tentang temannya yang tak ku kenal. Setelah lama bercerita, di
mengatakan padaku, maukah aku menjadi pacaranya. Aku terdiam. Dia mengatakannya
lagi. dan aku tetap terdiam.
“Fit?
Kamu tak suka aku mengatakannya?”
“Bukan
begitu. Aku, aku juga menyukaimu. Aku selalu mengingatmu di setiap sela-sela
hariku. Aku ingin kamu selalu menjadi motivasi buatku Aku juga ingin kita
bersama. Tapi, untuk saat ini, aku harus menahan semua itu. Jujur, aku tak
ingin bertemu denganmu karena aku harus menahan rasaku ini. Jika sudah bertemu
seperti ini, aku akan susah untuk menahan rasa dalam hati ini.”
“Untuk
apa kau menahan rasamu itu? Aku tak ingin kau semakin tersiksa dengan menahan
semua itu. Aku ingin kau melepaskan rantai itu dan menuju kepadaku. Aku ingin
kau selalu bersamaku meski itu di ambang kematian. Aku ingin kau selalu menjadi
milikku satu, dan tak akan terbagi untuk yang lain.”
“Aku,
. . . aku tak bisa. Aku tak bisa melepaskan rantai ini. Meskipun kau meminta bahkan
memaksa untuk membukanya.”
Aku
pun menangis. Menangis karena aku yang lemah ini, tak mampu mengatakan bahwa
aku menyukainya. Aku menangis karena rasa hormat dan patuhku pada orang tuaku
lebih kuat daripada hanya sekedar cinta yang tak tau bagaimana nantinya. Aku
yang bodoh, dan tak tau apa-apa ini, tak akan melepaskan rantai hati ini begitu
saja.
Dia
hanya bisa diam membisu. Melihatku yang menangis tanpa suara. Aku melihat gurat
wajah kekecewaan darinya. Aku melihat matanya yang menatapku, seolah-olah dia
berkata, ‘aku harus berbuat apa lagi agar
kau percaya bahwa aku menyukaimu?’. Dan dia pergi. Berlalu begitu saja.
tanpa menoleh kepadaku sedikitpun. Tangisanku semakin tak tertahankan. Aku
ingin menjerit di laut lepas dan berkata bahwa aku sangat menyukainya. Aku tak
bisa memikirkan apa yang saat ini dilakukannya, apa yang terjadi padanya
setelah perkataanku itu dan tangisku yang tak sengaja kuperlihatkan kepadanya.
***
Aku
sudah pulang dari rumah sakit seminggu yang lalu. Dan dari waktu itu pula dia
tak menghubungiku sama sekali. Aku merasa aku kehilangan dia. Dia kecewa
kepadaku? Dia tak ingin bertemu lagi denganku? Atau, dia akan menghilang dan
menjauh dari kehidupanku?
Aku tak bisa berbuat apapun. Aku tak
kuasa memaksanya untuk tak kecewa padaku. Aku tak mungkin memaksanya untuk
terus bertemu denganku. Aku tak bisa melakukan apapun. Aku tak bisa berhenti
memikirkannya. Aku,… aku…
***
Lima
tahun kemudian.
Ini adalah tempat
pertemuan pertamaku dengannya. Ya, di sebuah rumah sakit. Kali ini, aku
mengunjungi temanku. Aku tak bisa melupakan kejadian itu. Aku tak mungkin lupa
sebesar apa rasa cintanya padaku. Apa dia juga seperti itu? Aku tak tahu.
Jelasnya, aku sudah lost contact with him.
Entah, dia sekarang sedang apa, dengan siapa, dan dimana. Aku tak ingin
memikirkannya. Karena aku tak bisa berhenti menyukainya. Aku tak bisa berhenti
tersenyum saat mengingatnya. Aku mungkin sudah gila. Tapi, ini adalah
kenyataan. Bahwa aku tak dapat membuka hati untuk orang lain. Dia selalu
dibenakku. Selalu ada dalam hatiku. Setiap hembusan nafasku, selalu tersebut
namamu. Aku masih dapat mengingat dengan jelas wajah khawatirnya dan gurat
kekecewaannya ketika bersamaku. Semua ekspresi itu tersimpan dalam memoriku.
Waktu untuk menjenguk
temanku telah usai. Aku segera keluar. Dan aku menabrak seseorang.
“Maaf, mas. Saya tidak
lihat jalan. Anda tidak apa-apa?”
Saat aku mendongak,
ternyata…
“Bagas?!”
Dia tersenyum ke arahku.
“Rana? Sudah lama tidak
bertemu. Bagaimana keadaanmu?”
“Aku baik-baik saja.”
Dia memanggilku, Rana?
Formal sekali. Dia tak pernah seperti itu sebelumnya. Apa ini pertanda bahwa
dia sudah menghapus memori tentangku?
“Rana, kenalkan ini
Vina.”
“Hai, aku Rana.”
“Vina. Jadi, dia ini
yang dulu bersamamu?” tanya Vina.
“Ya. Rana, bisa tunggu
disini sebentar? Aku akan mengantar Vina menemui temannya.”
“Ya. Tentu saja.”
Aku hanya bisa miris
melihat keadaanku sekarang. Aku terlalu berharap pada seseorang yang telah
memiliki orang lain yang dia cinta. Vina, memang pantas untuknya. Mereka
pasangan serasi. Aku akan berusaha melupakannya. Melupakan semua kenangan
tentangnya. Bagas. Ya, aku tak akan menyebut namanya dan aku tak akan
menyimpannya dalam memoriku. Sudah cukup. Kali ini, aku menahan tangis. Tangis
kekecewaan.
“Rana? Kau kenapa?”
tanya Bagas. Kali ini wajahnya terlihat biasa saja.
“Aku tak apa. Hanya
sedikit lelah.”
“Benarkah?”
“Ya. Kenapa kau tak
bersama kekasihmu itu? Pergilah. Dia pasti akan cemburu melihat kita berdua
disini.”
“Kau menyuruhku pergi?
Kita sudah tak bertemu lima tahun, Rana.”
“Kau sudah melupakanku
bukan? Kau juga sudah punya kekasih yang lain. Kau juga memanggilku Rana. Itu
berarti kau sudah melupakanku.”
“Hanya karena nama, kau
seperti ini?”
“Seperti ini? Aku tak
pernah melupakanmu selama ini. Kita lost
contact. Nomor handphonemu tak bisa dihubungi. Akunmu juga tidak aktif.
Selama ini kau kemana? Aku mencarimu.”
“Cukup, Rana. Kau tak
perlu menjelaskan apa pun lagi padaku. Ini sudah cukup.”
“Apa maksudmu?”
“Rana, selama lima tahun
ini aku bekerja di Jakarta. Dan baru beberapa bulan yang lalu aku dipindahkan
di cabang Surabaya. Aku tak bisa dihubungi karena handphoneku dicuri orang saat
aku di jalan. Akunku telah diblokir seseorang. Entah siapa.”
“Lalu, kau tak berusaha
menghubungiku, setidaknya menyapaku, tapi, kau menautkan hati kepada perempuan
lain?”
“Maksudmu, Vina?”
“Ya. Vina. Perempuan
yang bersamamu itu.”
“Tenanglah Rana. Semua
ini tidak seperti yang kau pikirkan.”
“Tidak seperti yang aku
pikirkan? Lalu apa?”
“Rana, calm down. Believe me. Okay?”
“What? I can’t believe. I hate you. Now and ever.”
“Kau membenciku? Jangan
katakan itu Rana.”
“Why? Kau tak suka? Aku tak peduli.”
Aku berjalan pergi
meninggalkannya. Perdebatanku dengannya didengarkan oleh teman-temanku,
beberapa orang di rumah sakit, dan Vina. Tapi, aku tak peduli. Emosi dan
cemburu sudah di ubun-ubun. Aku ingin segera membuang jauh diriku dari
hadapannya. Tak ada gunanya lagi. Percuma.
“RANAAA!!!!” teriaknya.
Aku tak mendengarkannya.
Aku berjalan semakin cepat. Setengah berlari.
“RANAAA!!! I MISS YOU SO
MUCH. I LOVE YOU.”
‘Apa?
Apa aku tak salah dengar?’
Dia mengejarku. Dan
meraih tanganku.
“Willl you marry me, Rana?”
###
Bagaimana
kelanjutan ceritanya? Dipikir sendiri ya… ^^
Terima
kasih telah membaca.. ^^