Aku mencintaimu lebih dari yang kau tahu. Aku ingin memilikimu
lebih dari yang kau mau. Bahkan terlintas dibenakku bahwa aku ingin
menjadikanmu seorang imam dalam keluargaku nanti.
Engkau harus tahu, aku memiliki rasa dan pengorbanan yang sama
besar denganmu. Aku memiliki rasa cinta, kasih sayang, serta rasa ingin
memilikimu seutuhnya. Pengorbananku juga dapat dihitung. Dimulai ketika aku
membuang waktuku hanya untuk mengenalmu, mengorbankan rasa cintaku untukmu, berusaha
untuk merubah sifatku agar kau menyukaiku, dan rasa cintaku yang terus kau
ambil secara paksa. Aku telah berkorban untukmu. Aku jatuh ke dalam jurang
hatimu. Bahkan, ini sudah terlalu dalam. Aku tak dapat kembali, kecuali kau
menarikku keluar.
Dan saat inilah, hari ini, kau menarikku keluar dari jurang
hatimu.
Aku tahu, aku bersalah karena aku selalu mengecewakanmu. Aku
selalu membuatmu berharap padaku. Aku juga selalu melakukan kesalahan-kesalahan
yang berujung pada akhir dari hubungan ini. Tapi, tak semestinya seperti ini.
Aku tidak mau kehilangan sosokmu. Aku tidak ingin arah padanganku berubah
menjauhimu dan sebaliknya. Aku ingin kita tetap menjalin hubungan ini, meskipun
hanya sebagai seseorang yang tidak penting bagimu dan membuang waktumu.
Aku juga tahu, aku selalu menggantung hubungan ini, aku tak
pernah dapat menjawab semua perasaanmu. Aku juga tak pernah mengatakan semua
dengan serius. Aku, bahkan tak dapat mengatakan kata ‘cinta’ untukmu.
Saat ini, aku merasakan getir dan pahitnya cinta. Aku juga
dapat merasakan rasa yang menyesakkan dada. Aku tak dapat menahan air mataku.
Ini sudah yang ketiga kalinya, aku meneteskan air mata untukmu. Dan semua
kejadian saat itu terulang kembali.
Salahkah aku, bila aku menepis cintanya demi sebuah masa depan
yang telah terlihat semakin mendekat?
Salahkah aku, bila aku saat ini bimbang antara menerima
hatinya atau pun tidak?
Aku menuliskan ini bukan untuk membuatmu berubah pikiran. Aku
ingin tulisan ini menjadi ingatan terakhirku tentangmu. Tulisan ini akan
menjadi catatan, di mana aku dan kamu pernah bertemu sebelumnya. Pernah saling
sapa. Pernah saling memiliki. Pernah saling menyukai. Pernah, pernah, dan
pernah.
Entah kapan kita akan bertemu. Entah kita saling mengenal satu
sama lain atau justru sebaliknya. Maafkan aku yang selalu menepis cintamu
karena kita mungkin tak sepaham dan tak sejalan.
Maukah
kau mengingat ini?
“Aku
mencintaimu dengan apa adanya dirimu. Aku akan selalu mendo’akan yang terbaik
bagimu. Aku tetap ingin berada disisimu, meskipun aku bukan untukmu. Aku akan
tetap mengenang rasa cinta ini, aku juga akan mengingat saat-saat pertemuan
kita. Pertemuan yang membuatku kehabisan kata-kata, pertemuan yang membuatku selalu
salah tingkah dihadapanmu, pertemuan yang membuatku selalu tersenyum dan dapat
menurunkan egoku, dan juga pertemuan yang membuatku semakin menyukaimu.”