Buscar

W.E.L.C.O.M.E. !n tH!s s!tE

Welcome in my blog!!!
di sini,, kamu bisa baca apapun yang kamu mau..
selamat membaca, ya!
semoga bermanfaat...
Leave Comment, please.... ^^

Aku, Dirimu, & Dirinya (part 2)



          Ini, adalah lanjutan cerita dari Ana, Eza, dan Bagas dalam kehidupan Ana. Selamat membaca, ya!! 
***
            Telah terlewat 2 tahun aku berpacaran dengan Eza. Kami sering tidak melewatkan waktu bersama, karena jadwal kebersamaan kami bentrok dengan jadwal praktek. Susah memang, karena kami sama-sama mahasiswa kedokteran. Kami hanya bisa mencuri waktu untuk bertemu. Kami sempat membuat iri beberapa teman kami yang pacaran, karena mereka tidak bisa langgeng seperti kami. Entah kenapa. Tak pernah ada kejadian salah paham, pertengkaran, atau apa pun yang bisa membuat hubungan kami renggang, karena kami saling percaya. Bahkan, di kampus, kami dijuluki flobee. Nama yang aneh kan? Itu singkatan dari flower and bee. Karena, kata mereka kami seperti itu. Setiap ada kesempatan kami selalu berdua. Namanya juga orang pacaran.


          Akhir-akhir ini, aku dan Eza sibuk dengan tugas kuliah kami. Sehingga, kami jarang telpon, bahkan mengirim sms pun tidak. Sampai-sampai sahabatku heran melihatku.
          “Kau itu! Kok kamu enggak pengertian sih? Telpon atau sms-an sama Eza meskipun sebentar kan bisa.”
          “Gini ya, Fa. Gak setiap hari kami harus berkomunikasi. Kami kan saling menjaga kepercayaan. Jadi, gak akan ada masalah meskipun kami jauh dan loss contact sementara. Gak ngefek. Lagipula, kok jadi kamu yang ribet sih, Fa?”
          “Bukan gitu, Ana. Apa kamu gak takut dia di incar cewek lain. Eza kan orangnya keren, dia bagaikan bintang di kampus.”
          “Kamu tuh lebay. Kamu aja yang bilang dia bintang kampus. Yang lain biasa aja tuh.”
          “Yah, terserah kamu deh. Aku sudah ngasih saran buat kamu. Tapi, kamu tetap yakin gitu.”
          “Sudah ya, Farah. Kita harus masuk sekarang. Kan ada kuliah umum.”
          “Oh, iya. Ayo!”
          Jujur, aku jadi sedikit khawatir setelah sahabatku, Farah, berkata demikian. Benarkah Eza akan dekat dengan perempuan lain? Sebenarnya, kalau dekat dengan perempuan lain kan wajar. Namanya juga laki-laki. Tapi, jangan sampai dia pacaran sama orang lain selain aku. Semoga saja tidak terjadi. Amin.
***
          Setelah 2 minggu tidak bertemu dan tanpa kabar, aku dan Eza berjanji untuk bertemu di sebuah taman di tengah kota. Karena sudah lama tak bertemu, rasanya berdebar seperti pertama kali jatuh cinta.
Aku tiba di taman 10 menit lebih awal. Aku melihat Eza. Ia sepertinya sedang menelepon seseorang. Ketika aku akan meneriakkan namanya, tiba-tiba dia menuju ke sebuah keluarga yang sedang bercengkrama dengan raut wajah serius. Keluarga itu terdiri dari ayah, ibu, dan seorang perempuan cantik. Eza berbicara dengan mereka. Kelihatannya akrab sekali. Mungkin, itu keluarga Eza. Atau itu orang ketiga dalam hubunganku dan Eza? Aku segera menepiskan pikiran itu. Dan aku menelepon Eza.
“Eza, kamu di mana?”
“Oh, kamu sudah datang? Cepat sekali. Aku masih di kamar mandi.”
Dia berbohong.
“Di kamar mandi? Aku ke sana ya!”
“Jangan! Kamu tunggu di dekat gerbang taman saja. Bagaimana? Aku akan segera ke sana.”
“Oh, begitu? Ya. aku tunggu di sana.”
Eza, you’re lie.
Aku tetap berada di tempat itu, diam, dan memperhatikan gerak-gerik Eza. Sekitar 5 menit kemudian, Eza meninggalkan mereka. Sepertinya, ia menuju gerbang. Aku mengiriminya pesan singkat.
‘Aku di dekat air mancur. Cepat ke sini ya!’
Ekspresi Eza kaget. Ia segera mencariku dekat air mancur. Aku sengaja mencari tempat yang berlawanan dengan keluarga yang ditemui Eza. Agar ia tidak curiga.
“Ana!”
Eza menghampiriku dengan wajah cemas. Tentu saja. dia pasti cemas karena takut jika aku sampai bertemu dengan keluarga tadi.
“Ana, bukankah lebih enak bertemu di gerbang saja. kalau gini kan, aku harus mencarimu berputar-putar.”
“Di gerbang kan gak ada tempat duduk. Aku capek berdiri.”
“Baiklah. Kita jalan-jalan sekarang?”
“Tunggu dulu! Ada yang ingin aku tanyakan sama kamu.”
“Apa?”
“Tumben kamu datang lebih awal? Biasanya, kamu datang tepat sesuai dengan jam janjian kita.”
“Ya, aku berusaha datang lebih awal. Sebenarnya, aku menyiapkan diri untuk bicara hal ini denganmu.”
“Bicara mengenai apa?”
“Kamu tau kan, bahwa restu orang tua adalah segalanya dalam suatu hubungan? Aku berharap kita selalu bersama sampai akhir. Tapi, kenyataan berkata lain.”
“Maksudnya??”
“Aku harus berpisah denganmu, karena orangtuaku tidak merestui hubungan kita. Ada sebuah surat peninggalan kakekku. Isinya, setiap keturunan dari keluargaku, harus menikah dengan keluarga yang telah disebutkan dalam surat. Dan ibuku mempercayai hal itu. Jujur, aku sakit hati. Entah apa yang akan terjadi setelah pernikhan itu dilaksanakan. Keluargaku terlalu bergantung pada sebuah surat yang belum tentu benar adanya.”
“Berarti perempuan tadi adalah orang yang dijodohkan denganmu? Dia bersama ayah dan ibunya untuk membicarakan ini denganmu? Begitukah? Hanya sampai sinikah hubungan kita? Haruskah berakhir seperti ini?”
“Maafkan aku, Ana…”
Kami terdiam. Tak ada yang dapat kami katakan lagi. aku segera pergi meninggalkannya. Aku menoleh kepadanya sesaat. Dia menundukkan kepala dan mengusap air mata yang mendesak keluar. Dia bahkan tidak mengejarku. Pikiranku benar-benar kalut. Aku segera pergi menjauh darinya.
***
Sudah 2 hari sejak pembicaraan itu, aku selalu tak sengaja bertemu dengannya. Tapi, kami sama sekali tak bertegur sapa. Aku rasanya ingin menangis karena hubungan kami yang berakhir hanya karena hal seperti itu. Aku selalu menekankan dalam hati,
This is the end of our relation. Nothing remains to me. Nothing special. Just something not to remember.
***
Sebulan pun telah berlalu. Aku dan Eza tak pernah bertemu bahkan berkomunikasi lagi. kami sibuk dengan urusan kami masing-masing. Mungkin, kami memang tidak di takdirkan untuk bersama. Kami tidak berjodoh. Aku tak ingin memikirkannya lagi.
Sekarang sudah jam 22.30, dan aku sampai di sebuah tempat makan, lebih tepatnya rumah makan. Tempat ini sepi. Hanya aku saja pelanggannya. Maklum, sudah malam. Ketika aku sedang melahap makananku, ada beberapa orang pria masuk. Mungkin sekitar 5-6 orang. Mereka duduk tak jauh dariku. Aku kembali fokus pada makananku. Mereka berbincang tentang pekerjaan mereka. Sekilas tadi aku perhatikan, umur mereka mungkin 2 atau 3 tahun di atasku. Mereka lalu memesan makanan. Dan aku kembali melahap makananku.
Tiba-tiba, pelayan mengantarkan iced coffe kepadaku.
“Maaf, mbak. Tapi saya tidak memesan ini.”
“Ini dari meja sana mbak. Dari mas-mas itu. Katanya untuk mbak.”
“Benarkah?”
Pelayan itu segera berlalu. Aku segera melihat orang-orang itu. Tak kusangka, sosok itu kembali muncul di hadapanku. Dia menghampiriku.
“Ana. lama tak bertemu.”
Ia pun mengambil kursi dan duduk satu meja denganku.
“Lama tak jumpa juga.”
“Bagaimana kabarmu? Baik-baik saja?”
“Ya, aku baik-baik saja. kenapa kau ada di kota ini?”
“Aku dipindah tugaskan di kota ini. Baru 2 tahun aku disini. Kantorku dekat sini. Aku baru saja selesai bekerja.”
“Oh, jadi, kamu yang memesan minuman ini?”
“Iya. Sepertinya kamu lelah dan sedang banyak pikiran. Karena itu aku memesannya. Tak kusangka kita akan bertemu disini.”
“Ya, aku memang sedang banyak pikiran. Aku lelah setelah seharian praktek.”
“Tak baik perempuan sedang berada di luar selarut ini. Mau aku antar pulang?”
Aku terdiam. Tak kusangka, aku bertemu Bagas di saat-saat seperti ini. Tiba-tiba, teman-temannya angkat bicara,
“Heh, Gas! Siapa tuh? Kenalin kita donk. Ajak gabung di meja kita sekalian.”
“Sini mbak, aku sediakan kursi nih. Bagas, sini aja. Jangan ngobrol berdua.”
Bagas pun menatapku.
“Kau mau gabung sama kami, Ana? Daripada di sini sendirian.”
“Enggak deh. Makasih. Ini juga udah mau selesai.”
Bagas pun kembali bersama teman-temannya. Sepertinya ia sedang menceritakan hubungan kami. Aku segera mempercepat makanku. Aku tak mau berlama-lama di sini. Saat aku sudah selesai makan dan membayar, aku menuju pintu keluar, dan berpamitan pada Bagas. Ia menawarkan untuk mengantarku pulang. Aku tidak mau. Aku melihat ada 2 temannya yang mabuk. Mereka minum alcohol. Benar-benar situasi yang tidak menyenangkan. Aku segera bergegas keluar, tapi salah satu teman Bagas yang sedang mabuk itu memegang tanganku dan memelukku. Aku tidak dapat melepaskan pelukannya. Terlalu erat.
Bagas segera menghampiri. Ia berusaha melepaskan pelukan temannya itu dariku. Tapi, justru Bagas ditendang olehnya. Orang yang sedang memelukku ini, justru semakin memegangku dengan erat dan berniat menciumku.
Teman-teman bagas yang lain segera menolongku. Salah satu dari mereka memukul wajah orang kurang ajar ini. Mereka akhirnya berhasil melepaskanku dari pelukan orang itu. Keadaan menjadi tidak karuan. Mereka menenangkan temannya yang telah memelukku itu. Seketika itu juga, Bagas menghampiriku.
“Kau tidak apa-apa?”
Aku tak menjawab. Aku benar-benar bingung. Kenapa harus ada kejadian seperti ini.
“Ana, kau baik-baik saja? Aku antar kau pulang. Kosmu dekat dari sini?”
Aku hanya mengangguk. Aku tak kuasa untuk menjawab. Ia pun membawakan tasku, dan membawaku keluar dari rumah makan itu. Kami pun berjalan menuju kosku. Ia terdiam. Mungkin, ia bingung ingin mengatakan apa.
Kami sampai di depan kosku. Aku segera masuk tanpa mengucapkan sepatah kata. Bagas angkat bicara.
“Kau jangan cemas, ya? Aku akan memberi pelajaran pada temanku itu. Aku akan menyuruhnya meminta maaf padamu.”
Aku tak peduli dia mengatakan apa. Aku segera masuk dan menutup pintu. Ia segera berlalu. Mungkin, ia ingin menanyakan pada temannya, mengapa berbuat hal demikian.
***
Hari ini, aku izin tidak masuk kuliah. Rasanya, aku tidak enak badan. Mungkin, gara-gara kejadian semalam. Tak khayal memang, jika kejadian itu menjadi beban pikiran. Jam 07.45. sepertinya aku harus mencari sarapan. Tapi, rasanya malas. Kalau sudah jam segini, kos-kosan sudah sepi. Pada kuliah atau kerja semua.
Bel di kos-kosan berbunyi. Mungkin, ada orang baru mau ngekos, atau justru ibu kos mau nagih uang kos di tetangga kosku. Karena semua orang tidak ada, terpaksa aku beranjak dari kasur nyamanku untuk membukakan pintu. Seketika itu pula, aku terkejut. Orang yang datang adalah Bagas dan teman-temannya tadi malam, termasuk orang itu. Teman bagas yang kurang ajar itu, mukanya babak belur, sepeerti habis dipukuli orang sekampung.
“Ana. Bisa kau bukakan pintu? Aku membawakan sarapan untukmu. Kau pasti belum sarapan kan? Dan ada sesuatu yang ingin kami katakan.”
Aku tak menjawab. Aku bukakan pintu dan menyuruh mereka masuk. Teman Bagas yang memelukku waktu itu namanya Dino. Aku tau namanya karena mereka memanggilnya begitu. Sepertinya, ia sudah mendapatkan kembali kesadarannya. Mereka duduk di ruang tamu, dan aku angkat bicara.
To the point aja. Kalian mau ngapain ke sini? Ada hal apa? Penting?”
“Ana, ini sarapan untukmu.”
“Makasih.”
“Jadi, begini. Kami mau minta maaf atas kejadian tadi malam. Kami benar-benar tidak tau kalau akan terjadi seperti ini. Maafin kami ya?”
“Oh, ya. Aku maafin. Sudah kan? Ada perlu lagi?”
“Tidak ada sih..”
“Ya sudah. Aku tidak enak badan. Kalian pulang saja.”
“Ana, kau marah?”
“Tidak. Aku hanya tidak suka saja kalian datang kemari.”
“Oh, oke. Kita pergi. Ayo teman-teman. Cepat sembuh, Ana.”
“Ya.”
Sengaja aku menjawab kata-katanya seperti itu. Aku masih tidak suka saja dengan kelakuan temannya itu. Membuatku muak. Lebih cepat mereka pergi, lebih baik.
Makanan dari Bagas, tak kusentuh sama sekali. Sekitar jam 14.00, tetangga kosku pulang, dan melihat makanan di meja. Saat itu aku sedang di dapur untuk buat coffee milk.
“Ini makanan dari siapa? Kok disini?”
“Dari temanku mbak. Kalau masih enak, di makan saja. Aku sedang tidak nafsu makan.”
“Benarkah? Aku makan ya? Boleh?”
“Tentu saja boleh. Mungkin, temanku akan mengambil rantangnya nanti malam.”
“Oke. Akan kupindah dulu isinya.”
Makanan itu pun dimakan oleh tetangga-tetangga kosku. Tak apalah, daripada mubazir.
Malamnya, aku ke rumah makan itu lagi sekitar jam 11 malam. Ternyata mereka ada disana. Aku segera mengembalikan rantang itu kepada Bagas.
“Ini milikmu. Aku kembalikan.”
“Wah, kau memakannya? Terima kasih.”
“Bukan aku. Tapi teman-teman kosku. Sudah dulu. Aku mau pulang.”
“Oh, bukan kamu…  Lho? Jadi ke sini cuman ngembalikan ini aja?”
“Iya.”
“Aku antar pulang ya?”
“Enggak perlu. Makasih.”
Aku segera berlalu dengan cepat. Aku tak mau ia mengikutiku. Aku pun segera kembali ke kosan dan masuk kamar. Rasanya kepalaku pening. Aku segera meminum obat, dan akhirnya tertidur.
***
“Eh, An, kemarin, kenapa kamu gak masuk? Sakit ya?”
“Iya, Fa. Aku gak enak badan. Oh ya, ada tugas apa?”
“Tidak ada. Ini catatanku kemarin. Kamu salin, ya. jangan di photo copy aja.”
“Haha… Ok lah. Oh ya, Fa, kemarin aku ketemu mantanku.”
“Oh ya?? Trus, apa reaksimu? Kaget?”
“Ya iyalah. Mau gak kaget gimana?”
“Yah, sudahlah. Kan cuma mantan. Oh ya An, akhir-akhir ini, banyak yang bicara tentang kamu dan Eza. maaf ya, kamu udah putus sama Eza? Kok kamu sama Eza udah sebulan lebih enggak saling sapa gitu.”
“Yah, gitu deh Fa. Aku udah putus sama Eza.”
“Kok bisa sih? Apa yang buat kamu putus sama dia? Perasaan, kok gak ada masalah apapun antara kamu dan dia?”
“Enggak tau, Fa. Tanya Eza aja ya. Aku mau ke perpus dulu.”
“Tapi, An…”
Aku segera meninggalkan Farah. Aku gak mau dia tanya-tanya tentang hubunganku dan Eza.
Perpustakaan benar-benar ramai hari ini. Sepertinya, ada tugas mata kuliah serentak. Memangnya ada ya? :o
Aku segera mengambil buku, dan mencari tempat. Untunglah. Masih ada tempat di pojok, satu meja dan dua kursi berhadapan. Aku segera duduk dan membaca buku yang telah aku ambil.
Mungkin telah lewat 15 menit aku membaca. Kepalaku rasanya mulai pening. Padahal aku baru membaca sebentar. Tulisan-tulisan di hadapanku tak dapat kubaca. Mataku seperti lelah. Entah kenapa. Aku segera berhenti membaca dan memijat leher dan kepalaku agar lebih baik.
“Apa kau baik-baik saja?”
Suara ini…
“Ah, Eza! Apa yang kau lakukan disini?”
“Tentu saja aku mau membaca dan mengerjakan tugasku. Kau sakit? Aku membawa obat. Mungkin ini bisa membantu meringankan sakitmu itu.”
Thanks. But, I’m okay. Duduklah.”
“Baiklah. Tidurlah. Aku akan membangunkanmu jika petugas perpustakaan datang.”
“Terima kasih, Eza.”
Eza, kau memang orang paling baik dan paling mengerti aku setelah orang tuaku.
Hari ini menjadi sangat cerah dalam pikirku meskipun cuaca di luar sedang hujan lebat. Karena aku telah mengobrol dengan Eza lagi, tanpa menyinggung seperti apa hubungan kami saat ini. Benar-benar melegakan.
***
Hujan yang lebat ini, membuatku tak bisa pulang, karena aku tak bawa jas hujan. Terpaksa aku menunggu di tempat parkir sampai hujan menjadi rintik-rintik kecil. Aku melihat mobil sport hitam berhenti di depan tempat parkir sepeda motor. Dan kaca jendela mobil itu terbuka.
“Ayo, pulang denganku! Hujannya terlalu deras. Kau bisa sakit jika pulang dengan motormu!”
“Aku menunggu hujan reda saja, Za! Tak apa. Pulanglah.”
Eza turun dari mobil, dan menggandeng tanganku untuk segera masuk ke mobilnya. Begitu aku duduk dalam mobilnya, aku baru sadar. Kenapa aku mengikuti kemauannya?
“Ah, aku turun saja, Za. Aku gak enak sama kamu.”
“Tak apa. Kau khawatir motormu? Nanti aku akan titip satpam di depan. Biar motormu di masukkan di garasi. Sini, kunci motormu.”
“Tunggu Za. Besok aku ke tempat kuliah naik apa?”
“Aku yang jemput.”
Aku sudah tak dapat mengatakan apa-apa lagi. Selama perjalanan, aku hanya diam. Dia juga diam. Dia fokus menyetir. Semakin lama, aku semakin tidak mengerti. Ini bukan jalan ke kosku. Tapi, aku hanya diam. Kami berhenti di taman tempat aku putus dengannya. Hujan masih turun dengan lebat, sehingga kami tetap berada dalam mobil. Aku bingung harus bicara apa dengannya.
“Eza.. kenapa.. tidak menuju kosku? Apa ada yang ingin kau bicarakan?”
Eza tetap diam. Aku jadi semakin bingung. Situasi seperti ini membuat pikiranku campur adak. Jangan-jangan, Eza minta kita pacarin lagi. tapi, tidak mungkin. Bisa saja dia hanya ingin mengenang kenangan-kenangan selama kita pacaran dulu. Atau, dia akan berbuat yang tidak-tidak kepadaku seperti tindak kejahatan yang disiarkan di TV itu? Ah, kok jadi mikir gini sih. Mungkin saja dia mau minta maaf padaku, atau dia menungguku untuk bicara duluan? Jadi semakin tidak karuan pikiranku.
“Ana..”
Akhirnya dia bicara juga. Kan gak enak jalau saling diam.
“Ana..”
“Iya, Za?”
“Maukah kau ada di sisiku sampai waktu mengatakan bahwa kita harus berpisah?”
“Tapi, Za.. Kau sudah memiliki orang lain. Tak mungkin aku bersamamu. Mengertilah. Kita tak mungkin bersama. Surat wasiat kakekmu itu menentang kita.”
“Aku mohon.. Tetaplah di sisiku sampai aku diharuskan pergi untuk menjalani perawatan di luar negeri.”
“Eza.. kamu sakit?”
“Ya. dan aku mau kau selalu bersamaku. aku ingin kau yang menguatkanku sebelum aku menjalani semua perawatan itu.”
“Kamu sakit apa? Kenapa tidak bilang padaku? Sakitmu sudah lama?”
“Sakit ini tidak memiliki gejala. Tiba-tiba saja, sudah stadium 3. Kata dokter, ini masih bisa disembuhkan. Dan hanya di rumah sakit luar negeri, yang menyediakan alat untuk menyembuhkan penyakit ini. Kau tak perlu khawatir. Aku hanya minta kau selalu di sisiku sampai tiba saatnya aku pergi. Hei, jangan menangis. Dengan kamu menangis, justru membuatku semakin sakit. Aku ingin kau selalu membuatku tersenyum.”
“Tapi aku tak bisa tersenyum saat keadaanmu seperti ini, Za..”
“Kau selalu bisa membuatku tersenyum. Bersikaplah biasa. Ok? Jangan pikirkan kalau aku sedang sakit. Aku saja yang sakit berusaha untuk tegar. Kenapa kamu yang tidak mengalami sakit ini, justru rapuh? Ana.. kau bisa melakukannya. Pasti.”
“Baiklah, aku akan melakukannya. Jadi.. kita pacaran lagi?”
“Tentu saja, flo. Kita akan tetap disebut flobee. Karena mulai sekarang, kemanapun kita akan berdua. Dan aku akan menjemput setiap hari. Bagaimana?”
“Tak usah berlebihan. Aku bisa naik sepeda motor.”
“Tidak boleh. Aku ingin kita selalu berdua. Oke?”
“Baiklah..”
Hari ini menjadi hari yang paling membahagiakan dan juga hari yang menyedihkan, ketika aku harus tau bahwa ujungnya, aku dan Eza tetap akan berpisah. Aku akan selalu membuatmu nyaman di sisiku, tak akan membuatmu sedih, dan aku tak akan menangis. Aku janji.
***
Pagi ini, cerah. Secerah hatiku yang sedang berbunga-bunga dan bahagia karena menunggu kedatangan seseorang. Ya, Eza. Mulai hari ini dia akan menjemputku. Aku sudah berssiap dan berdiri di depan cermin, melihat apa yang kurang dariku hari ini. Sepertinya, sudah lengkap. Tak ada yang kurang. Jadi tinggal nunggu Eza.
Ada seseorang memencet bel. Aku segera membukakan pintu. Senyum manis telah tersemat, tapi orang itu bukanlah Eza, melainkan Bagas. Aku terkejut. Dan heran. Mengapa dia datang pagi-pagi di sini?
“Hai!”
“Oh, hai.”
“Kau mau kuliah? Ayo, aku antar. Aku sedang libur kerja.”
“Tidak perlu. Lebih baik aku berangkat sendiri. Gunakan liburmu untuk istirahat.”
“Kau tetap perhatian rupanya.”
“Terserah kamu saja. di kasih tau, malah bilang gitu.”
“Itu kenyataan. Kau masih perhatian padaku.”
Percakapan kami terhenti, ketika mobil sport hitam berhenti di depan kosku. Seseorang keluar dari mobil. Ya, Eza. Keren sekali dia hari ini.
“Hola flo. Come on!
“Oh, oke. Aku ambil tas sebentar.”
Aku harus bergegas. Sebelum mereka memulai percakapan yang tidak menyenangkan dengan mengingat kejadian yang sudah berlalu itu.
“Kalian masih berpacaran? Huh. Langgeng sekali. Semoga tidak bertahan lama.”
What? Who are you?
“Kau tidak ingat? 2 tahun yang lalu di restoran. Dan gara-gara kau, aku dan Ana putus!”
Oh, I know. You’re ex-person of Ana life. Right? Ana is mine. And you, go away from Ana and I.
“Gunakan saja bahasa Indonesia. Gak usah belagu!”
“Eh, apa-apan ini? Kalian berdua ngapain? Debat?”
Come on, Ana. and you, what’s your name? hmm.. Ya, Bagas. Go away Ana. Are you understand?
“Sudah. Hentikan. Jangan di teruskan. Bagas, maaf. Aku harus segera berangkat kuliah. And Eza. Don’t dispute with him. Okay?
“Ana, kau masih berpacaran dengan orang ini? Orang ini sombong. Sok pakai bahasa Inggris segala.”
“Sudahlah, Bagas. Tidak perlu di bahas. Sampai sekarang, aku masih menyukainya, dan kami masih pacaran. Jadi, jangan ganggu kami. Oke?”
“Itu maumu? Oke. Tapi, jangan sampai menyesal jika ada yang terjadi antara kalian berdua. Aku pergi.”
Bagas pun pergi, dan kami segera meluncur menuju tempat kuliah.
“Ana, kenapa dia datang ke kosmu? Bagaimana dia tau kamu tinggal di situ?”
“Ceritanya panjang. Aku ceritakan besok saja. bagaimana?”
“Ayolah. Aku penasaran. Dia kan seingatku, tidak bekerja di kota ini. Dia juga tidak tau kabarmu. Lalu, dia tiba-tiba muncul? Itu aneh sekali.”
Akhirnya, aku menceritakan kejadian malam itu pada Eza. Eza sedikit terkejut. Dan raut wajahnya berubah.
“Mulai sekarang, kita harus saling terbuka. Aku gak mau kejadian seperti itu terjadi padamu. Apalagi, jika ada hubungannya dengan mantanmu itu. Mengerti kan? Kalau terjadi apa-apa, langsung telepon aku. Janji?”
“Iya. Aku janji. Makasih Eza.”
***
Hampir 6 bulan sejak pertemuan Eza dan Bagas. Dan sampai sekarang, mereka tidak bertemu lagi. syukurlah. Dan saat ini, aku berada di rumah sakit. Di sebuah kamar luas penuh bau obat, dinding bercat perpaduan antara hijau pupus, biru muda dan putih, langit-langit putih bersih, terdapat sebuah rak berisi buah dan rangkaian bunga indah, dan seseorang di tempat tidur. Infus terpasang pada tubuhnya. Kulitnya yang pucat pasi, matanya sayu, dan tergeletak lemah tak berdaya. Aku yang sedari tadi hanya duduk memandanginya, karena aku tak tau harus berbuat apa, kini aku beranjak untuk mengupas buah-buahan agar ketika dia bangun nanti, dia tinggal memakannya.
Dalam hati, aku hanya dapat menangis pedih. Mengapa dia harus melalui hal berat seperti ini? Penyakit ini akan mengancam kehidupannya. Dia bisa saja meninggal jika operasinya tidak berhasil. Lalu, aku harus bersikap bagaimana? Berusaha tegar? Aku tidak bisa. Haruskah aku menangis? Dia pasti justru akan semakin merasa sakit jika aku menangis.
Seharusnya, orang lain saja yang menerima penyakit ini. Bukan dia. Kasihan dia. Sekarang tak dapat berbuat apa-apa. Dan dalam waktu dekat, dia akan dibawa keluar negeri untuk operasi. Aku tak boleh menemaninya. Dia bilang, aku harus meneruskan kuliahku, dan aku tidak boleh khawatir tentangnya, karena dia pasti selamat. Meskipun dia berkata seperti itu, aku tetap tidak bisa untuk tidak memikirkannya. Pikiranku benar-benar kacau.
“Kau masih disini?”
“Eza, kau sudah sadar? Ya, aku menunggumu bangun. Agar kamu bisa makan buah yang aku kupas ini. Oh ya, tadi orang tuamu pulang. Karena mereka harus membereskan pakaianmu yang akan dibawa beberapa hari lagi. kakakmu sudah berangkat ke luar negeri. Ia sedang mengecek rumah sakit yang akan kau tempati. Ngomong-ngomong, kamu harus cepat sembuh ya. biar nanti, ada yang ngajarin aku tentang mata kuliah yang aku gak ngerti.”
“Haha.. terima kasih ya. kau sudah pengertian. Selalu menemaniku disaat-saat seperti ini. Kau harus kuat. Lebih kuat dariku. Oke? I still love you. Now and ever.
I’m too.
***
Sekarang, aku sendiri. Telah lewat satu minggu semenjak kepergiannya. Semoga dia cepat sembuh. aku akan selalu ingat pesan-pesanmu. Aku akan menunggumu. Kita adalah flobee. Tak akan pernah terpisahkan. Dan akan selalu begitu. Cepatlah pulang. Aku disini merindukanmu…