Berawal dari mimpi, mungkin akan
menjadi suatu kisah nyata. Meskipun tak sesuai dengan yang aku impikan. Cerita
kali ini, berawal dari mimpi. Sebagian besar ceritanya adalah mimpiku. Ditambah
sedikit bumbu-bumbu agar lebih menarik. Selamat membaca kawans, selamat
berimajinasi ria. Maaf jika aada kemiripan nama, karena aku memang menggunakan
nama kalian. ^^
***
Banyak kejadian yang menimpa kita,
baik secara langsung, atau melalui pertanda lewat mimpi terlebih dahulu.
Tinggal bagaimana kita menyikapi secara bijak atau tidak.
“Satu
setengah tahun yang lalu, tiba-tiba ayahku meninggal dalam sebuah kecelakaan
yang menurutku memang sudah direncanakan oleh seseorang. Aku tidak peduli,
siapa orang itu. Aku dan ibuku merasa benar-benar terjatuh karena ayah begitu
cepat tiada. Tetapi, kami tetap berusaha untuk tegar. Banyak orang dan kerabat
yang merasa kasihan, empati, turut berduka, memasang muka sedih yang bisa jadi,
dia justru bahagia melihat kepergian ayahku dan melihat keterpurukan kami. Tak
sedikit juga orang yang mencibir. Aku dan ibuku tetap bungkam.”
***
Satu setengah tahun yang lalu…
Hai.
Perkenalkan. Aku fitri, kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi dan sudah semester
6, di salah satu universitas terkenal di Malang, kota yang menurutku iklimnya
dingin. Di kota ini, aku bertemu dengan sahabat-sahabatku, my best friend
forever lah istilahnya. Namanya? Ada Nai, Laila, Rika, Riana, Via, dan Kiki.
Ada satu lagi sebenarnya. Namanya Arsie. Tapi, dia sedang menjauhiku. Entah
kenapa. Mungkin sedang badmood atau apalah. Sudah berbulan-bulan dia tidak ikut
kita kumpul-kumpul bareng. Ya udah sih. Toh kalau dia masih butuh bantuan, kita
tetep bantu. Dan, aku punya kekasih hati selama aku di kota penuh kampus ini.
Namanya Jefri. Bukan orang asli Malang
pokoknya. Tapi masih di jawa timur. Bolehlah ya. Tapi, ya gitu, hubunganku
masih belum di ketahui oleh kedua ortuku. Biasa. Kan ayah dan ibu cari yang
sempurna tanpa cacat.
Ujian
Akhir Semester pun berlalu. Liburan? Belum lah. Masih ada semester pendek yang
saat ini berjalan. Lalu terjadi kejadian yang paling buruk dalam hidup. Ayahku
meninggal. Aku segera pulang, dan melihat jasad ayahku yang terbujur kaku. Aku
tidak bisa berkata sepatah katapun. Hanya bisa menangis sambil meratapi sosok
yang sekarang tak berdaya. Sosok yang selama ini belum sempat aku balas
budinya. Sosok yang selama ini selalu mengkhawatirkanku dalam keadaan apapun.
Sosok yang selama ini selalu membuatku ingat bahwa perjuangannya hanya demi
membuatku mencapai ilmu yang nanti akan berguna bagi orang lain. Dan masih
banyak lagi yang tidak bisa aku ungkapkan tentangnya.
Ayahku meninggal dalam sebuah kecelakaan yang
menurutku memang sudah direncanakan oleh seseorang. Aku tidak peduli, siapa
orang itu. Aku dan ibuku merasa benar-benar terjatuh karena ayah begitu cepat
tiada. Tetapi, kami tetap berusaha untuk tegar. Banyak orang dan kerabat yang
merasa kasihan, empati, turut berduka, memasang muka sedih yang bisa jadi, dia
justru bahagia melihat kepergian ayahku dan melihat keterpurukan kami. Tak
sedikit juga orang yang mencibir. Aku dan ibuku tetap bungkam.
Sudah
lewat seminggu. Ibu bilang bahwa kuliahku tetap harus berjalan. Akhirnya aku
tetap ikut semester pendek. Lalu saat pembayaran UKT, tidak ada uang untuk
membayar. Aku pun memutuskan untuk tidak kuliah. Aku bercerita ke dosen
pembimbingku, dan apa yang beliau katakan? Beliau mau meminjamkan uang untukku
kuliah. Paling tidak, kata beliau harus lulus sarjana, meskipun aku tidak bisa
melanjutkan ke profesi atau co-ass.
Aku hanya bisa menangis di pelukannya dan bercerita ke ibuku. Ibu pun mengucap
syukur yang tiada henti sambil menangis.
Hingga
akhirnya akupun lulus menjadi sarjana. Dosbingku mengatakan bahwa akan
membiayai profesiku juga. Tapi, aku bilang sudah cukup. Karena hanya merepotkan
saja. Aku mengatakan bahwa akan meneruskan usaha ayahku yang di bidang
pertanian itu. Daripada menganggur dan tidak berjalan. Aku juga bilang bahwa
akan mengembalikan uang dosbingku itu ketika aku sudah cukup mapan.
Aku
pun tidak berdiam diri. Kembali pulang ke rumah, dan mulai membangun usaha
ayahku yang sudah di mulai dari nol itu. Aku segera menghubungi orang-orang
yang papaku percaya dulu, untuk membantuku dalam menjalankan usaha ini. Dan
mereka pun setuju membantu. Aku juga menghubungi teman-teman ayahku, meminta
bantuan untuk mengajariku tentang bidang yang digemari papaku ini. Aku juga
mengikuti kursus tentang manajemen. Semua aku lakukan. Aku juga mulai mengikuti
tender-tender di berbagai perusahaan. Dan mulai menampakkan hasil dengan cara aku
memenangkannya. Dan ibu hanya bisa memberi dukungan. Ibuku juga tetap bekerja
menjadi PNS. Di saat-saat seperti ini, aku mengenalkan kekasihku pada ibu.
“Ibu,
perkenalkan. Ini orang yang dari dulu ingin aku kenalkan pada ayah dan ibu,
tapi masih belum ada kesempatan. Dan sekarang adalah waktu yang tepat
menurutku.”
“Siapa
dia?”
“Dia
ini adalah orang yang bisa membuatku bahagia, Bu. Orang yang dari aku kuliah,
ayah meninggal, aku sedih susah senang, selalu ada disampingku. Menguatkanku.
Memotivasiku. Dan aku ingin dia menjadi imamku nantinya.”
Ibu
pun berkenalan dengannya. Mulai tanya dari hal yang kecil sampai besar.
Bertanya apa rencananya ke depan. Bertanya bagaimana aku dan dia bertemu.
Bertanya bagaimana hubunganku dengannya ke depan. Setelah ibu selesai
menanyakan apapun yang memang harus ditanyakan. Ibu mengatakan..
“Iya,
Nak. Kamu boleh berhubungan dengan lelaki ini. Semoga benar dan sesuai dengan
doamu. Semoga memang dia ini adalah jodohmu. Ibu tidak mau neko-neko. Sudah cukup yang seperti ini. Asal kamu bisa bahagia dan
bertanggungjawab atas apa yang menjadi pilihanmu.”
Aku
langsung memeluk ibu. Memeluk se-erat-eratnya. Dan aku pun memeluk Jefri. Orang
yang akan menjadi imamku. Diapun memelukku dengan erat. Dan mengucap syukur di
dekat telingaku. Syukur tiada tara.
***